Witches of the New World: Ketika Soulslike Nyasar ke Salem dan Ketemu Perburuan Penyihir
Ada banyak cara ngenalin Witches of the New World game ke orang. Bisa bilang, “Ini soulslike baru,” tapi jujur itu terlalu generik. Lebih pas kalau dibilang, “Bayangin lo jadi pemburu penyihir di Salem, tapi dunia beneran penuh iblis, cult, dan warga yang setengah gila ketakutan.” Itu vibe yang ditawarkan Horizontal Entertainment lewat proyek ambisius mereka ini, yang belakangan lagi ramai di forum dan timeline gamer pecinta game gelap.
Witches of the New World game menempatkan lo di akhir abad ke-17, tepatnya di sekitar Salem, New England—lokasi yang sudah jadi ikon kultur pop tiap kali orang ngomongin witch trials. Bedanya, di sini perburuan penyihir bukan cuma paranoia massal; ada sesuatu yang benar-benar jahat berkeliaran di hutan, gereja, dan rumah-rumah kayu tua yang diselimuti kabut. Lo nggak main sebagai penyihir, tapi sebagai witchfinder profesional bernama Jedediah Hopkins, orang yang kerjaannya memang nyari dan “mengurus” mereka yang dituduh bersekutu dengan iblis.
Yang bikin Witches of the New World langsung menarik adalah cara game ini nyampur: sejarah kelam, soulslike combat, dan horor psikologis. Sekilas mungkin kelihatan kayak sekutu jauh Bloodborne, tapi set-nya bukan kota gotik fiksi—ini Salem, tempat yang namanya aja sudah otomatis kebayang tiang gantungan dan histeria.
Salem, Jedediah, dan Dunia Witches of the New World yang Nggak Sesederhana “Manusia vs Iblis”
Mari mulai dari fondasinya dulu: setting dan karakter utama. Witches of the New World game adalah single-player action-horror dengan sudut pandang third-person, dibangun di Unreal Engine dan berfokus pada narasi plus combat berat.
Cerita berangkat setelah gelombang besar pengadilan penyihir Salem mulai mereda. Secara resmi, “masalah” sudah dibereskan: orang-orang yang dianggap penyihir sudah digantung atau dipenjara. Tapi rumor yang beredar bilang, justru setelah itu kejadian-kejadian aneh makin sering muncul.
Masuklah Jedediah Hopkins, witchfinder yang dikirim dari Inggris. Namanya jelas referensi ke sosok-sosok real seperti Matthew Hopkins, pemburu penyihir legendaris (dan kontroversial) dalam sejarah Inggris. Di mata gereja dan otoritas, Jedediah adalah prajurit Tuhan—orang yang mengusir kejahatan demi menyelamatkan jiwa umat. Di mata sebagian warga, dia adalah ancaman baru: orang asing bersenjata dengan hak moral untuk memutuskan siapa yang “bersih” dan siapa yang harus dibakar.
Salem versi Witches of the New World game bukan kota besar. Ini kumpulan rumah kayu, gereja, kandang, ladang, dan hutan kelam yang mengelilingi semuanya. Di atas permukaan, ini kota kecil agamais yang kelihatan “tertib”. Tapi makin lama lo jelajahi, makin jelas kalau ada dua arus besar yang bikin kota ini keracunan dari dalam:
- Trauma pengadilan penyihir yang bikin semua orang hidup dalam rasa bersalah dan paranoia.
- Aktivitas kultus beneran, yang memanfaatkan rasa takut itu buat sembunyi dan tumbuh.
Musuh utama lo bukan cuma iblis yang keluar dari neraka, tapi juga Longevity-sejenis sabbath dan kelompok pemuja iblis yang bekerja di balik layar. Mereka ngadain ritual tengah malam di hutan, ngorbanin orang, dan berusaha nguasai Salem, bukan lewat kekuatan militer, tapi lewat perjanjian gelap.
Menariknya, posisi Jedediah di Witches of the New World game ini nggak dibingkai sehitam-putih “hero lawan monster”. Developer pengin ngulik sisi abu-abu: jedediah memang melawan entitas jahat, tapi cara dan mandate yang ia bawa bisa sama brutalnya. Lo bakal sering dipaksa ngambil keputusan: percaya testimoni warga yang trauma, atau curiga mereka cuma butuh kambing hitam baru? Haruskah lo menghabisi orang yang terlibat sekte, atau masih ada pilihan lain?
Horizontal Entertainment menempatkan banyak fokus ke aspek naratif ini. Mereka bukan studio raksasa, tapi punya orang-orang yang pernah kerja di Ubisoft, lengkap dengan pengalaman bikin worldbuilding dan skenario. Jadi jangan kaget kalau Witches of the New World game ini punya porsi dialog, investigasi, dan konsekuensi yang lumayan berat di samping action-nya.
Secara mood, bayangin gabungan drama sejarah gelap, investigasi supernatural, dan ketegangan ala horor A24—tapi lo punya kontrol penuh atas karakter yang lagi raba-raba di kegelapan hutan sambil bawa senjata dan harapan tipis. Itu kurang lebih tone yang coba dibangun game ini.
Combat dan Gameplay Witches of the New World: Soulslike yang Nggak Bikin Lo Ngerasa Perkasa
Begitu geser ke sisi gameplay, Witches of the New World game jelas masuk keluarga soulslike. Bukan sekadar karena sulit, tapi karena cara game ini mendesain encounter dan memberi tekanan ke pemain.
Combat-nya third-person, dengan kombinasi melee dan ranged. Jedediah bisa membawa senjata jarak dekat—kayak pedang, kapak, atau mungkin palu—plus senjata api era itu seperti pistol flintlock. Senjata api di sini bukan spam machine gun, tapi alat dengan peluru terbatas dan reload lama, dipakai di momen krusial untuk ganggu atau habisi musuh yang lagi lengah.
Yang bikin rasa “soulslike”-nya kental:
- Lo punya resource stamina yang mengatur berapa banyak lo bisa nyerang, blokir, atau dodge.
- Musuh nggak segan ngehabisin lo dalam beberapa pukulan kalau lengah.
- Setiap encounter lebih terasa kayak duel atau skenario kecil, bukan sekadar tebas-tebas musuh lemah buat farming experience.
Witches of the New World game juga disebut punya sistem progression yang cukup dalam. Lo bisa kustomisasi build Jedediah, entah mau dibuat lebih tanky dengan armor berat dan senjata besar, atau jadi pemburu lincah dengan senjata ringan plus banyak gadget dan alat bantu. Item dan equipment yang lo dapet dari eksplorasi atau hasil menyelesaikan quest bisa ngasih buff, kemampuan baru, atau sekadar variasi gaya main.
Unsur horror-nya bukan cuma presentasi visual, tapi juga cara game bermain dengan informasi. Seringkali lo nggak tahu persis apa yang nunggu di ujung jalan. Lo mungkin cuma denger suara kayu berderit, bisikan samar, atau tangis dari dalam rumah. Apakah itu jebakan? NPC yang butuh bantuan? Atau musuh yang siap ngelompat? Tugas lo adalah menakar risiko dan memutuskan: investigasi atau cabut?
Eksplorasi di Witches of the New World game dikemas sebagai perjalanan yang nggak pernah sepenuhnya aman. Kota dan sekitarnya bukan open world super luas, tapi lebih ke area-area terhubung yang bisa lo telusuri secara bebas dalam batas tertentu. Hutan, rawa, reruntuhan bangunan, dan ruang bawah tanah semuanya dirancang punya identitas visual dan gameplay masing-masing.
Developer juga menjanjikan sistem pilihan yang punya konsekuensi nyata. Misalnya:
- Lo bisa pilih untuk percaya pengakuan seorang gadis yang mengaku dipaksa ikut ritual. Kalau percaya, lo mungkin melewatkan ancaman tersembunyi. Kalau nggak percaya, mungkin lo justru membunuh korban.
- Lo bisa memutuskan apakah mau membakar tempat ibadah yang dipakai cult, dengan risiko makin banyak warga membenci lo, atau cari cara lain yang lebih pelan tapi aman.
Hal-hal kayak gini bikin Witches of the New World game terasa punya beban moral yang jarang disentuh soulslike lain. Progres lo nggak cuma diukur dari seberapa banyak boss yang tumbang, tapi juga seberapa hancur moral Jedediah di ujung cerita.
Secara teknis, Unreal Engine dipakai untuk memaksimalkan atmosfer: cahaya lilin yang gemetar, kabut tebal di hutan, hujan yang turun pelan di atas atap kayu, bayangan yang kebetulan mirip sosok berdiri di ujung jalan. Ini bukan game yang bakal ngejar jumlah musuh di layar, tapi lebih fokus ke kualitas tiap ruang dan encounter.
Di komunitas, banyak yang melihat Witches of the New World game sebagai calon cult favorite. Bukan game yang bakal terjual puluhan juta kopi, mungkin, tapi type of game yang kalau bagus, akan sering direkomendasikan dari mulut ke mulut: “Lo suka Bloodborne? Coba yang ini, setting-nya di Salem, dark banget.”
Apa yang Bikin Witches of the New World Menarik, dan Di Mana Tantangannya?
Kalau ditarik ke konteks lebih luas, Witches of the New World game ini muncul di fase menarik buat genre soulslike. Kita udah lewat era “semua orang pengen kayak Dark Souls di kastel Eropa”, dan mulai masuk fase “soulslike tapi dengan identitas kuat.”
Di titik itu, Witches of the New World punya beberapa nilai jual yang cukup unik:
- Setting Salem yang jarang banget digarap serius di dunia game, apalagi dengan depth mekanik selevel soulslike.
- Protagonis witchfinder yang secara moral abu-abu, bukan hero bersih atau anti-hero standar.
- Fokus ke horror atmosferik dan investigasi di samping combat, bikin pengalaman main nggak cuma soal duel susah, tapi juga rasa was-was konstan.
Buat gamer Indonesia yang udah kenyang sama tema ksatria, naga, dan samurai berkabut, Witches of the New World bisa jadi angin segar. Apalagi kalau lo suka kombinasi sejarah + supernatural + sistem combat yang bikin tangan pegel tapi hati puas.
Tentu, semua potensi ini datang dengan PR besar. Horizontal Entertainment adalah studio independen—secara resource jelas beda kelas kalau dibandingkan FromSoftware atau publisher besar. Tantangan mereka:
- Nge-balance scope biar nggak terlalu besar sampai nggak kepegang, tapi tetap cukup ambisius buat memorable.
- Nge-polish combat sampai satisfying, karena fans soulslike biasanya nggak kompromi soal hal ini.
- Ngebangun cerita dan karakter yang kuat tanpa keteter di teknis.
Kalau mereka berhasil, Witches of the New World game punya peluang jadi salah satu judul yang sering disebut waktu orang ngobrol soal “soulslike underrated yang wajib dicoba”. Kalau pun nggak sempurna, usaha mereka bikin kombinasi yang jarang—witch trial, soulslike, dan horror psikologis—masih layak diapresiasi.
Buat sekarang, langkah paling gampang yang bisa lo lakuin: cek situs resmi dan akun X mereka, pantau update, dan siapin tempat di wishlist platform pilihan kalau nanti halaman store-nya sudah naik. Karena di era di mana banyak game terasa mirip, Witches of the New World game ini setidaknya berani jawab, “Gue beda, dan gue nggak takut bikin lo nggak nyaman.”

